Disisi Klaim

Ini hanyalah catatan pribadi yang berisi hal-hal yang pernah dialami penulis terutama tutorial di seputar dunia maya. Tujuannya sebagai media untuk nyangcang ilmu dan share. Hasil dari cumat-comot banyak sumber yang ditransiterasi ulang oleh sim kuring. Mohon maaf jika sumber asalnya tidak semuanya dicantumkan... Kalau ada yang berguna silahkan sahaja ambil, tanpa basa-basi juga gpp koq. yang penting bisa digunakan untuk kebaikan. jikalau disalahgunakan, saya tegaskan "SAYA BERLEPAS DIRI DARI ITUH". Kalau ada kaedah yang salah, mohon dikoreksi ya, agar ilmunya tidak menyesatkan.

Friday, April 15, 2011

HUKUM-HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN SHALAT BERJAMA’AH

Oleh : Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi
http://almanhaj.or.id/content/3038/slash/0


Shalat berjama’ah memiliki adab dan hukum-hukum yang terkait. Semua ini
karena kedudukannya memiliki arti penting dalam Islam. Sementara itu, banyak
kaum muslimin yang belum mengetahui hal ini. Banyak dijumpai dalam shalat
berjama’ah, mereka kurang memperhatikan adab dan hukum yang terkait.
Menyebabkan mereka terjerumus ke dalam kesalahan dan dosa, bahkan kebid’ahan.

BATASAN MINIMAL PESERTA SHALAT BERJAMA’AH
Batasan minimal untuk shalat jama’ah ialah dua orang. Seorang imam dan
seorang makmum. Jumlah ini telah disepakati para ulama.

Ibnu Qudamah menyatakan,“Shalat jama’ah dapat dilakukan oleh dua orang atau
lebih. Kami belum menemukan perbedaan pendapat dalam masalah ini.”[1]

Demikian juga Ibnu Hubairoh menyatakan,“Para ulama bersepakat, batasan
minimal shalat jama’ah ialah dua orang. Yaitu imam dan seorang makmum yang
berdiri di sebelah kanannya.” [2]

Shalat jama’ah dianggap sah, walaupun makmumnya seorang anak kecil atau
wanita. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:

بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ فَقُمْتُ أُصَلِّي مَعَهُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ
فَأَخَذَ بِرَأْسِي فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ

Aku tidur di rumah bibiku, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bangun mengerjakan shalat malam. Lalu aku turut shalat bersamanya dan
berdiri disamping kirinya. Kemudian beliau meraih kepalaku dan memindahkanku
ke samping kanannya. [3]

Demikian juga hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِ
وَبِأُمِّهِ قَالَ فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ وَأَقَامَ الْمَرْأَةَ
خَلْفَنَا

Sesungguhnya Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat mengimami dia
dan ibunya. Anas berkata, “Beliau menempatkanku di sebelah kanannya dan
wanita (ibunya) di belakang kami.” [4]

Semakin banyak jumlah makmum, maka semakin besar pahalanya dan semakin
disukai Allah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ وَصَلَاةُ
الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ وَمَا
كَانُوا أَكْثَرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Shalat bersama orang lain lebih baik daripada shalat sendirian. Shalat
bersama dua orang lebih baik daripada shalat bersama seorang. Semakin banyak
(yang shalat) semakim disukai Allah Azza wa Jalla. [5]

Hadits ini jelas menunjukkan, bahwa semakin banyak jumlah jama’ahnya semakin
lebih utama dan lebih disukai Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Demikian juga seorang anak kecil yang telah mumayiz, boleh menjadi imam
menurut pendapat yang rajih. Hal ini berdasarkan hadits Amru bin Salamah
Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:

فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ
بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ
جِئْتُكُمْ وَاللَّهِ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ حَقًّا فَقَالَ صَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا وَصَلُّوا
صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ
أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا فَنَظَرُوا فَلَمْ يَكُنْ
أَحَدٌ أَكْثَرَ قُرْآنًا مِنِّي فَقَدَّمُونِي بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَأَنَا
ابْنُ سِتٍّ أَوْ سَبْعِ سِنِينَ

Ketika terjadi penaklukan kota Makkah, setiap kaum datang menyatakan
keislaman mereka. Bapakku datang menyatakan keislaman kaumku. Ketika pulang
beliau berkata,“Demi Allah, aku membawakan kepada kalian kebenaran dari sisi
Rasulullah,” lalu berkata,“Shalatlah kalian, shalat ini pada waktu ini dan
shalatlah ini pada waktu ini. Jika telah masuk waktu shalat, hendaklah salah
seorang kalian beradzan dan orang yang paling banyak hafalan Qur’annya yang
menjadi imam.” Lalu mereka mencari (imam). Ternyata tidak ada seorangpun
yang lebih banyak dariku hafalan Al Qur’annya. Lalu mereka menunjukku
sebagai imam dan aku pada waktu itu berusia enam atau tujuh tahun.[6]

KAPAN DIKATAKAN MENDAPATI SHALAT BERJAMA’AH?
Gambaran permasalahan ini ialah seseorang datang ke masjid untuk shalat
berjama’ah. Kemudian mendapati imam bertasyahud akhir, lalu bertakbiratul
ihram. Apakah masbuq tersebut dikatakan mendapatkan pahala berjama’ah
bersama imam, ataukah dianggap sebagai shalat sendirian (munfarid)?

Dalam permasalahan ini, para ulama terbagi dalam tiga pendapat yang berbeda.

Pertama : Shalat Jama’ah Didapatkan Dengan Takbir Sebelum Imam Salam.
Ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Syafi’iyah. Berdalil dengan hadits Abu
Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
beliau bersabda:

إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ
عَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ
فَأَتِمُّوا
J
ika shalat telah iqamat, maka janganlah mendatanginya dengan berlari.
Datangilah dengan berjalan. Kalian harus tenang. Apa yang kalian dapati,
maka shalatlah dan yang terlewatkan sempurnakanlah.[7]

Dalam hadits ini dinyatakan, orang yang mendapatkan imam dalam keadaan sujud
atau duduk tasyahud akhir sebagai orang yang mendapatkan shalat jama’ah,
lalu menyempurnakan yang terlewatkan. Sehingga orang yang bertakbir ihram
sebelum imam salam, dikatakan mendapatkan shalat jama’ah.

Kedua : Membedakan Antara Jum’at Dan jama’ah. Jika Shalat Jum’at, Melihat
Kepada Raka’at Dan Jama’ah Melihat Kepada Takbir.
Bermakna, dalam shalat Jum’at, seseorang dikatakan mendapatkan shalat Jum’at
bersama imam, bila mendapatkan satu raka’at bersama imam. Dikatakan
mendapatkan jama’ah, bila bertakbir sebelum imam mengucapkan salam. Ini
pendapat yang masyhur dari madzhab Syafi’i.[8]

Ketiga : Dikatakan Mendapatkan Shalat Berjama’ah, Bila Mendapatkan Satu Raka’at
Bersama Imam.
Demikian ini pendapat madzhab Malikiyah, Imam Ghazali dan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah.

Muhammad bin Abdil Wahab dan Abdurrahman bin Nashir Assa’di telah
merajihkannya.[9]

Berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau berkata.

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلَاةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

Siapa yang mendapatkan raka’at dari shalat, maka telah mendapatkan
shalat.[10]

Dan hadits Ibnu Umar yang berbunyi:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَدْرَكَ
رَكْعَةً مِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ أَوْ غَيْرِهَا فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

Rasulullah bersabda,“Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat
Jum’at atau selainnya, maka telah mendapatkan shalat.” [11]

Sedangkan raka’at dilihat dari ruku’nya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits
Abu Hurairah yang marfu’ :

إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ وَنَحْنُ سُجُودٌ فَاسْجُدُوا وَلَا
تَعُدُّوهَا شَيْئًا وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

Jika kalian berangkat shalat dan menemukan kami sedang sujud, maka
bersujudlah dan jangan dihitung sebagai rakaat. Barangsiapa yang mendapatkan
raka’at, maka telah mendapatkan shalat.[12]

Mereka menyatakan, “Orang yang mendapatkan satu raka’at dari shalat Jum’at
atau selainnya, maka (dianggap) mendapatkan shalat. Demikian juga shalat
jama’ah, tidak dianggap mendapatkannya, kecuali dengan mendapat satu raka’at.”
[13]

Pendapat ini dirajihkan Syaikhul Islam dalam pernyataan beliau: Yang benar
ialah pendapat ini, karena hal berikut:
1. Menurut syari’at, -dalam hal ini- takbir tidaklah berkaitan dengan hukum
apapun. Tidak berkaitan dengan waktu dan tidak pula dengan Jum’at atau jama’ah
atau yang lainnya. Takbir disini, adalah sifat yang tidak terkait dengan
hukum apapun (washfun mulgha) dalam tinjauan syari’at. Maka dari itu, tidak
boleh menggunakannya sebagai hujjah.

2. Syari’at hanya mengaitkan status mengenai bisa-tidaknya shalat berjama’ah
dengan mendapati raka’at. Kaitannya dengan takbir akan meniadakannya … …

3. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengaitkan tentang dapatnya shalat
berjama’ah bersama imam dengan raka’at. Ini adalah nash permasalahan.

4. Jum’at tidak bisa didapatkan oleh seseorang, kecuali bila mendapatkan
raka’at. Demikianlah fatwa sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
diantaranya: Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Anas dan yang lainnya. dalam hal ini,
tidak diketahui ada sahabat yang menyelisihi mereka. Bahkan sebagian ulama
menyatakan, hal ini merupakan ijma’ sahabat. Pemisahan hukum Jum’at dengan
jama’ah disini tidak benar. Oleh karena itu, Abu Hanifah meninggalkan
ushul-nya dan membedakan keduanya. Tapi hadits dan atsar sahabat membatalkan
pendapat beliau.

5. Bila tidak mendapatkan satu raka’atpun bersama imam, maka tidaklah
dianggap mendapatkan jama’ah. Karena ia menyelesaikan seluruh bagian
shalatnya dengan sendirian. Ia tidak terhitung mendapatkan satupun bagian
shalat bersama imam. Seluruh bagian shalat dikerjakannya sendirian.[14]

Pendapat ini adalah pendapat yang rajih. Wallahu a’lam bish shawab.

HUKUM BERJAMA’AH DALAM SHALAT NAFILAH[15]
Shalat nafilah (shalat tathawu’) sangat penting bagi seorang muslim. Bahkan
merupakan pelengkap dan penyempurna shalat fardhu. Melihat pentingnya
permasalahan ini, maka perlu diketahui secara jelas hukum seputar berjama’ah
dalam shalat nafilah.

Ditinjau dari pensyari’atan berjama’ah pada shalat nafilah, maka terbagi
menjadi dua.

Pertama. Shalat nafilah yang disyari’atkan mengamalkannya dengan berjama’ah.
Terdiri dari:
1. Shalat Kusuf (shalat gerhana matahari). Shalat ini disunnahkan berjama’ah
berdasarkan kesepakatan para fuqaha’. Sedangkan shalat gerhana bulan,
terdapat perselisihan para ulama tentangnya. Imam Abu Hanifah dan Malik
menyatakan, tidak disunnahkan. Sedangkan Imam Syafi’i dan Ahmad menyatakan,
sunnahnya.
2. Shalat Istisqa’(shalat minta hujan), disunnahkan berjama’ah. Demikian
menurut madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, Hambaliyah dan dua murid Abu Hanifah,
yaitu Abu Yusuf dan Muhamamd bin Hasan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat
tidak disunnahkan berjama’ah.
3. Shalat Ied, disunnahkan berjama’ah secara ijma’ kaum muslimin.
4. Shalat Tarawih

Kedua : Shalat nafilah yang tidak disyari’atkan berjama’ah.
Shalat yang disyari’atkan melakukannya secara sendirian (tidak berjama’ah)
sangat banyak sekali. Diantaranya ialah: shalat rawatib, shalat sunnah
mutlaqah dan yang disunnahkan pada setiap malam dan siang.

Tentang hukum melakukan shalat-shalat tersebut secara berjama’ah, terjdapat
peselisihan diantara para ulama. Madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah
memperbolehkan berjama’ah. Madzhab Hanafiyah memakruhkannya; dan madzhab
Malikiyah membolehkan berjama’ah, kecuali sunnah rawatib sebelum subuh.
Mereka menyatakan hal itu, menyelisihi yang lebih utama, selebihnya boleh
dengan syarat jama’ahnya tidak banyak dan tidak di tempat yang terkenal,
karena takut terjadi riya’ dan munculnya anggapan bahwa hak itu wajib.

Akan tetapi, yang benar ialah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Beliau pernah melakukan kedua-duanya. Pernah melakukan shalat sunnah
tersebut dengan berjama’ah dan sendirian. Sebagaimana riwayat berikut ini:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ جَدَّتَهُ مُلَيْكَةَ دَعَتْ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ فَأَكَلَ مِنْهُ ثُمَّ
قَالَ قُومُوا فَأُصَلِّيَ لَكُمْ قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ فَقُمْتُ إِلَى
حَصِيرٍ لَنَا قَدْ اسْوَدَّ مِنْ طُولِ مَا لُبِسَ فَقَامَ عَلَيْهِ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْتُ أَنَا وَالْيَتِيمُ
وَرَاءَهُ وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا فَصَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفَ

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, beliau menyatakan, bahwa neneknya
yang bernama Mualikah mengundang Rasulullah makan-makan yang dibuatnya. Lalu
Rasulullah memakannya dan berkata, “Bangkitlah kalian, aku akan shalat
berjama’ah bersama kalian.” Anas berkata,”Aku mengambil tikar kami yang
telah berwarna hitam karena lamanya pemakaian, dan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bangkit. Aku dan seorang anak yatim membuat shaf di
belakang beliau, sedangkan orang-orang tua wanita berdiri di belakang kami.
Rasulullah shalat dua raka’at kemudian pergi.”[16]

عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَتَاهُ فِي مَنْزِلِهِ فَقَالَ أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ لَكَ
مِنْ بَيْتِكَ قَالَ فَأَشَرْتُ لَهُ إِلَى مَكَانٍ فَكَبَّرَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْنَا خَلْفَهُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ

Dari ‘Utban bin Malik, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
mendatanginya di rumahnya, lalu berkata,“Dimana dari rumahmu ini yang engkau
suka aku shalat untukmu?” Lalu aku tunjukkan satu tempat. Kemudian beliau
bertakbir dan kami membuat shaf di belakangnya. Beliau shalat dua raka’at.[17]

Demikian juga Syaikh Shalih As Sadlan merajihkan pendapat dibolehkannya
dengan syarat, sebagaimana pernyataan beliau,“Yang benar dari yang telah
kami sampaikan, nafilah boleh dilakukan dengan berjama’ah. Baik nafilahnya
merupakan sunnah rawatib atau sunnah mustahabbah atau tathawu’ mutlaq. Tapi
dengan syarat, tidak menjadikannya sebagi satu kebiasaan, tidak ditampakkan
secara terang-terangan, dan dilakukan karena satu sebab. Seperti diminta
tuan rumah atau kerena bersamaan dalam menunaikan sunah. Misalnya, tamu
ketika bertamu. Seandainya dia dan tuan rumahnya shalat witir berjama’ah,
dengan syarat tidak timbul kebid’ahan atau perkara yang tidak dibolehkan
oleh syari’at. (Tetapi), jika satu dari yang telah disebutkan itu terjadi,
maka tidak disyari’atkan berjama’ah.” [18]

Kesimpulannya, dibolehkan melaksanakan shalat sunnah dengan berjama’ah,
selama tidak menimbulkan kebid’ahan atau pelanggaran syari’at serta
dibutuhkan untuk hal itu. Wallahu a’lam.

UDZUR YANG MEMPERBOLEHKAN TIDAK MENGHADIRI SHALAT BERJAMA’AH
Diperbolehkan tidak menghadiri shalat berjama’ah dengan sebab-sebab
tertentu. Diantara sebab-sebab tersebut ialah sebagai berikut:

1. Dingin dan hujan.
Berdasarkan hadits dari Nafi’, beliau berkata.

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَذَّنَ بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ
ثُمَّ قَالَ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ
لَيْلَةٌ ذَاتُ بَرْدٍ وَمَطَرٍ يَقُولُ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ

Sesungguhnya Ibnu Umar beradzan untuk shalat pada malam yang dingin dan
berangin kencang, kemudian berkata, “Ala shallu fi rihalikum (Shalatlah
kalian di rumah kalian).” Lalu beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah
memerintahkan muadzin, jika malam dingin dan berhujan mengatakan, ‘Ala
shallu fi rihal’.” [Mutafaqun ‘alaihi].

2. Sakit yang memberatkan penderitanya menghadiri jama’ah.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَمَاجَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ
إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِن قَبْلُ

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu
sekalian orang-orang muslim dari dahulu. [Al Hajj:78].

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika sakit dan tidak bisa
mengimami shalat beberapa hari:

مُرُوْا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ لِلنَّاسِ

Perintahkanlah Abu Bakr agar mengimami manusia. [19]

Ibnu Hazm berkata,“Ini tidak diperselisihkan.” [20]

3. Kondisi tidak aman yang dapat membahayakan diri, harta dan kehormatannya.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [Al
Baqarah:286].

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ

Barangsiapa yang mendengar adzan lalu tidak datang, maka tidak ada shalat
baginya, kecuali karena udzur [21]. Dalam riwayat Al Baihaqi ada tambahan
tafsir udzur disini, dengan sakit atau rasa takut (situasi tidak aman).[22]

4. Saat makanan telah dihidangkan dan menahan hajat kecil atau besar.
Berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ

Tidak boleh shalat saat makanan dihidangkan dan tidak pula ketika menahan
buang hajat kecil dan besar. [23]

5. Ketiduran.
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ
يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلَاةِ الْأُخْرَى فَمَنْ فَعَلَ
ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حِينَ يَنْتَبِهُ لَهَا

Bukanlah ketiduran tafrith (tercela), akan tetapi tafrith hanya pada orang
yang tidak shalat sampai datang waktu shalat yang lainnya. Barangsiapa yang
berbuat demikian, maka hendaklah shalat ketika sadar.[24]

Demikianlah sebagian perkara penting yang berkaitan dengan shalat jama’ah.
Semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VII/1420H/1999M Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]

No comments:

Post a Comment