Disisi Klaim

Ini hanyalah catatan pribadi yang berisi hal-hal yang pernah dialami penulis terutama tutorial di seputar dunia maya. Tujuannya sebagai media untuk nyangcang ilmu dan share. Hasil dari cumat-comot banyak sumber yang ditransiterasi ulang oleh sim kuring. Mohon maaf jika sumber asalnya tidak semuanya dicantumkan... Kalau ada yang berguna silahkan sahaja ambil, tanpa basa-basi juga gpp koq. yang penting bisa digunakan untuk kebaikan. jikalau disalahgunakan, saya tegaskan "SAYA BERLEPAS DIRI DARI ITUH". Kalau ada kaedah yang salah, mohon dikoreksi ya, agar ilmunya tidak menyesatkan.

Wednesday, April 6, 2011

-A M A N A H-

BERBAHAGIALAH MENGEMBAN AMANAH
Oleh
Ummu Ihsan Al-Atsariyah
http://almanhaj.or.id/content/3028/slash/0

Sekecil apapun suatu pekerjaan jika dilakukan dengan hati terpaksa diiringi
keluh kesah, niscaya akan terasa berat bak menanggung beban sebesar gunung.
Sebaliknya, seberat apapun suatu pekerjaan jika dilakukan dengan penuh
keikhlasan, kegembiraan dan harapan, niscaya akan terasa ringan dan
menyenangkan. Memang benar! Tanggung jawab seorang ibu tidaklah ringan.
Tugas dan kewajiban yang dipikulnya tidaklah sedikit Siapapun tak bisa
menyangkal, seorang ibu rumah tangga hampir-hampir tak mempunyai waktu
istirahat. Pekerjaannya seolah selalu tampak di depan mata tak pernah ada
habisnya. Kalau seorang ayah bisa tidur nyenyak di malam hari, lain halnya
dengan seorang ibu. Tangis si kecil terkadang mengusik tidur malamnya.

Tugas seorang wanita begitu universal. Sebagai seorang permaisuri pendamping
suami, seorang ibu, pengasuh sekaligus guru bagi para anaknya, bahkan
sebagai pelayan yang harus selalu siap dipakai tenaganya. Tak jarang para
ibu merasa jenuh, letih dan menganggapnya sebagai suatu himpitan yang begitu
menyiksa. Inilah celah yang dimanfaatkan setan untuk melancarkan aksinya.
Bak gayung bersambut, para wanita yang lemah imannya pun berbondong-bondong
meninggalkan rumah mereka. Mereka berusaha mencari solusi pemecahan dengan
meneriakkan slogan emansipasi dan menuntut persamaan hak dengan kaum pria.
Mereka menutup mata dari bahaya yang timbul akibat semua itu. Akibat amanah
dan tanggung jawab yang disia-siakan seorang ibu. Anak menjadi liar, suami
tidak lagi mendapatkan kedamaian. Akhirnya keharmonisan rumah-tangga pun
terancam.

Kita sebagai wanita mukminah yang benar keimanannya. Ia tidak akan
mengadopsi solusi-solusi pemecahan yang hanya mengundang murka Allah Azza wa
Jalla. Jalan keluar yang hanya akan memicu munculnya masalah-masalah baru
yang lebih runyam. Lalu bagaimana caranya? Itulah pertanyaan yang harus kita
jawab. Salah satunya adalah dengan mengkaji lebih dalam hikmah di balik
tanggung jawab itu.

JERIH PAYAH KITA TIDAK SIA-SIA
Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Dzat yang telah menciptakan manusia. Sudah
barang tentu, Dia pulalah yang paling mengetahui perkara-perkara yang dapat
mendatangkan mashlahat maupun mudharat. Dia pula yang paling mengethui tugas
dan amanat apa yang paling sesuai dan selaras bagi masing-masing
makhluk-Nya. Demikian halnya dengan kaum wanita. Allah Subhanahu wa Ta'ala
yang paling mengetahui tugas dan tanggung jawab apa yang paling sesuai bagi
kita. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَقَرْنَ في بُيُوْتِكُنَّ

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu." [Al Ahzab:33]

Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kaum wanita untuk melazimi rumahnya.
Bahkan hukumnya makruh bagi seorang wanita keluar dari rumahnya, tanpa
adanya suatu keperluan, berdasarkan ayat di atas dan juga sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

Wanita itu aurat, jika ia keluar maka akan diintai oleh setan. [HR
At-Tirmidzi]

Sebagian kita kemudian bertanya : Mengapa wanita harus selalu tinggal di
rumah? Bukankah wanita juga mempunyai potensi? Bahkan tidak sedikit kaum
wanita yang memiliki tingkat intelegensi dan skill lebih dari kaum pria.
Bukankah kita mampu bersaing dengan kaum pria? Demikianlah syubhat-syubhat
yang sering dihembuskan setan dan bala tentaranya. Sekarang mari kita
renungkan!

Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa wanita adalah makhluk yang lemah.
Lemah dari segi fisik, lemah dalam akal maupun agamanya. Karena itulah Allah
Subhanahu wa Ta'ala menjaga mereka dengan penjagaan terbaik. Melindungi kaum
wanita dengan sebaik-baik hijab yaitu rumah mereka. Selain itu, realita
membuktikan bahwa tugas-tugas di dalam rumah tidak mungkin dapat
dilaksanakan dengan sempurna kecuali oleh seorang wanita. Karena itulah
Allah Yang Maha bijaksana menjadikan rumah sebagai amanah bagi mereka. Dalam
sebuah hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ
عَنْهُمْ

Seorang wanita adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga serta
anak-anaknya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.
[H.R.Muslim]

Sebuah amanah yang sudah selayaknya dijaga dan dilaksanakan sebaik-baiknya.

Ketika menjelaskan beberapa sifat orang-orang yang beriman, Allah Subhanahu
wa Ta'ala menyebutkan bahwa di antara sifat mereka adalah menjaga amanah
yang dibebankan di atas pundak mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

وَالَّذِينَ لأََمنتهِم وَعَهْدِهِم راَعُون

Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan
janjinya. [Al Mukminun:8]

Selanjutnya Allah Subhanahu wa Ta'ala menjanjikan balasan bagi mereka seraya
berfirman:

ءولئك هُمُ الوَارِثُون{10} الَّذِين يَرِثُونَ الفِرْدَوسَ هُم فِيهَا
خَالِدُونَ

Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, yakni yang akan mewarisi
jannah Firdaus. Mereka kekal di dalamnya. [Al Mukminuun: 10-11]

Benar! Surga yang telah Allah janjikan. Lalu, adakah balasan yang lebih baik
dari itu? Bukankah surga merupakan cita-cita tertinggi setiap pribadi
muslim? Maka, sudah saatnya kita memompa semangat yang mulai mengendur. Kita
bangun kembali harapan yang mulai memudar. Kita sambut tugas-tugas hari esok
dengan penuh harapan. Dengan penuh keyakinan bahwa jerih payah kita tidaklah
sia-sia. Setiap tetesan keringat kita itu memiliki nilai di sisi Allah Azza
wa Jalla.

BERKURANG IBADAH SETELAH MENIKAH ?
Keluhan seperti ini kerap kali kita dengar dari mereka, yang dulunya rajin
bangun ditengah malam menegakkan qiyamullail (shalat malam), rajin
mengerjakan puasa-puasa sunah, tekun belajar, menghafal Al Qur'an,
menghadiri majelis ta'lim, dan lain sebagainya. Setelah menapaki kehidupan
rumah tangga tiba-tiba semuanya menjadi berubah dengan kehadiran seorang
suami, disusul lahirnya anak pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Kini,
kekhusu'an shalat sering terpecahkan deru tangis sang bayi. Rasa letih
kadang menghalanginya bangun di tengah malam. Jangankan mengerjakan shaum
sunah, shaum wajib pun kadang tak mampu ia tunaikan. Saat sedang membaca
tiba-tiba suami meminta untuk dilayani, dan masih banyak lagi. Sekarang ia
merasakan waktu menjadi sangat sempit hingga terbersit dalam benaknya bahwa
rumah tangga telah mengurangi ibadahnya kepada Allah. Apa memang benar
begitu? Benarkah keluarga menghalangi seorang wanita untuk mendekatkan diri
kepada Rabbnya?

Di sini kita perlu meluruskan persepsi. Mungkin anggapan itu benar, jika
yang dimaksud adalah ibadah-ibadah ritual seperti shalat, shaum, dan yang
semisalnya. Karena tugas dan tanggung jawab seorang wanita jelas bertambah
ketika ia telah menjadi ibu rumah tangga. Namun seorang muslimah yang
memahami makna ibadah dengan benar, tentu tidak akan berasumsi semacam ini.

Para ulama mengatakan, ibadah meliputi segala sesuatu yang disukai dan
diridhai Allah berupa perkataan dan perbuatan yang lahir maupun batin.
Segala aktivitas kita sehari-hari bisa bernilai ibadah. Dalam sebuah hadits
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ

Dan mendatangi istri adalah shadaqah. [HR Muslim]

Dalam hadits lain beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا
أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ

Sesungguhnya, tidaklah engkau mengeluarkan nafkah dengan mengharap wajah
Allah kecuali engkau diganjari pahala atasnya hingga sesuatu yang engkau
suapkan ke dalam mulut istrimu. [HR Al-Bukhari]

Di dalam kitab Fathul Bari, Al Hafizd Ibnu Hajar menukil perkataan
An-Nawawi, "Faidah yang ingin dipetik dalam hadits ini, ialah sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, "mengharap, yakni mencari, wajah Allah".

Imam An-Nawawi menarik sebuah faidah : Suatu aktifitas bilamana bersesuaian
dengan kebenaran, maka tidaklah mengurangi nilai pahalanya (bila niatnya
untuk beribadah). Sebab, menyuapkan tangan ke mulut istri biasanya dilakukan
saat bercanda dengannya. Tentu saja hal tersebut bercampur dengan nafsu
syahwat.

Namun demikian, bila tujuannya mengharap pahala Allah, niscaya ia akan
memperolehnya dengan karunia dari Allah.

Ibnu Hajar melanjutkan : Dalam hadits lain disebutkan secara lebih gamblang
lagi dari sekedar menyuapkan tangan ke mulut istri. Yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu, disebutkan :
Dan mendatangi istrinya juga terhitung sedekah!.

Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, apakah seseorang yang melampiaskan
syahwatnya juga mendapat pahala? Rasulullah berkata : Bagaimanakah menurut
kalian bila ia melampiaskannya pada saluran yang haram?

Imam An-Nawawi melanjutkan : Jika demikianlah keadaannya, yakni perkara yang
dikehendaki oleh nafsu, tentu lebih layak bila ganjaran pahala itu diberikan
atas perkara yang tidak dikehendaki oleh nafsu!?

Beliau melanjutkan. Perumpamaan dengan menyuapkan tangan ke mulut istri
tujuannya adalah untuk lebih mempertegas kaidah ini. Sebab, bilamana
menyuapkan tangan ke mulut istri sekali suap saja sudah berpahala, tentu
pahala lebih layak diberikan kepada siapa yang memberi makan orang-orang
yang membutuhkan makanan, atau mengerjakan amalan ketaatan yang tingkat
kesulitannya lebih besar daripada sesuap nasi yang diberikan kepada istri,
yang tentu saja nilainya lebih rendah.

Lebih dari itu dapat dikatakan, jikalau pahala diberikan kepadanya karena ia
telah memberi makan istrinya, yang tentunya ia juga memperoleh keuntungan
darinya. Sebab makanan itu akan membuat tubuh istrinya tampak lebih cantik.
Dan biasanya nafkah yang ia berikan kepada istrinya lebih banyak didorong
oleh faktor nafsu. Tentu berbeda dengan bersedekah kepada orang lain yang
tentunya lebih banyak menuntut pengorbanan, wallahu a'alam."

Jika sekarang ibadah ritual yang kita laksanakan berkurang, namun kita
memiliki kesempatan untuk melaksanakan ibadah dalam bentuk lain yang tidak
ia dapatkan semasa gadis. Berbakti dan berkhidmat kepada suami, mendidik dan
mengasuh anak-anak, mengatur urusan rumah tangga, dan lain sebagainya. Di
samping itu Islam adalah agama yang mudah dan fleksibel. Di sela-sela
kesibukan sehari-hari, masih banyak ibadah yang bisa kita lakukan. Dengan
senantiasa berdzikir, mempertebal rasa syukur, beramar ma'ruf nahi munkar,
memperbanyak tasbih, tahmid, takbir, tahlil, serta istighfar.

JADIKAN SELURUH AKTIVITASMU SEBAGAI IBADAH
Bila suatu amal yang besar bisa hancur karena niat yang melenceng, maka
sebaliknya sebuah amal yang tampaknya sepele bisa menjadi sebuah ibadah yang
bernilai karena niat yang lurus. Sekilas, rutinitas seorang istri
sehari-hari memang tampak sepele. Seperti menyediakan hidangan, mengurus
pakaian, merapikan rumah, melayani suami dan lain sebagainya. Tidaklah kita
ingin semua itu menjadi ibadah yang bernilai. Tentu saja! Karena itu,
hendaknya setiap wanita menata hati dan menjaga ketulusan niat semata-mata
untuk meraih keridhaan Allah. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'a
memerintahkan setiap istri untuk meraih ridha suami.

Kerjakanlah setiap tugasmu sebaik mungkin dan profesional untuk mendapatkan
keridhaan suami. Siapa wanita yang tidak mendambakan di dunia suami semakin
cinta dan di akhirat ia mendapat surga'?

Demikian juga halnya dengan tugas-tugas sebagai seorang ibu. Mengasuh dan
mendidik anak-anak kita, mendampingi dan membimbing mereka. Hendaknya kita
lakukan semua itu dengan mencurahkan segenap kemampuan yang ada. Karena
mereka adalah tabungan bagi kita, pada saat pahala seluruh amalan telah
terputus. Saat pahala shalat dan puasa tak lagi bisa kita raih. Namun doa
anak yang shalih, dan ilmu yang yang bermanfaat yang kita ajarkan kepada
mereka akan terus mengalirkan pahala. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda.

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ
إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ
صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Apabila seorang anak Adam mati maka terputuslah seluruh amalnya kecuali dari
tiga perkara: Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak yang shalih
yang selalu mendoakannya. [HR Muslim]

JANGANLAH ENGGAN BERDO'A
Sebagai insan yang lemah kita menyadari , bahwa kita tidak akan mampu
memikul amanah ini tanpa kekuatan dan pertolongan dari-Nya. Amanah ini
merupakan beban yang sangat berat kecuali jika Dia meringankannya. Akan
menjadi sesuatu yang sulit, kecuali jika Dia memudahkannya.

Bukan suatu aib apabila kita banyak meminta dan berdoa kepada-Nya. Jadi, apa
salahnya jika setiap hendak memulai aktivitas pada pagi hari, kita memohon
kepadaNya agar dimudahkan dalam menyelesaikan semua tugas-tugas.

Akhirnya, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan semua usaha ini sebagai
bekal bagi kita kelak pada hari ketika anak dan kaum kerabat tak lagi mempu
mendatangkan manfaat, tidak juga kedudukan dan harta benda.
Wallahu a’lamu bish shawab

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VII/1424H/2003M Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]

No comments:

Post a Comment